Friday, April 18, 2008

GURU IDOLA

MENJADI GURU IDOLA

Bersama :

Drs. H. Dwiyono Iriyanto, MM

“MENJADI GURU IDOLA : NEVER ENDING PROCESS”*)

Oleh : Drs. HD. Iriyanto, MM

(Motivator & Inspirator Religiospiritual; Direktur GIM – HRD Training Centre Jogja; Dosen STMIK Amikom Jogja; Staf Ahli Pembelajaran Primagama Pusat)

PENGANTAR

Di bulan Mei yang lalu dalam tempo sepekan, ada dua SMS (short message service) yang masuk ke ponsel saya dari Prof. Yohanes Surya. Dua-duanya membanggakan dan mencengangkan. SMS pertama memberitakan bahwa pelajar kita mendulang prestasi besar di arena Konferensi Internasional Saintis Muda di Polandia 16 -24 April 2009. Di ajang ini pelajar kita menempati urutan pertama dengan meraup 6 medali emas, mengungguli Jerman yang menempati peringkat kedua dengan 3 emas. Sedang SMS kedua menginformasikan bahwa pelajar kita berhasil menyabet gelar The Best Experiment (penghargaan tertinggi untuk eksperimen Fisika) pada ajang Olimpiade Fisika Asia yang berlangsung di Thailand 24 April – 2 Mei yang lalu.

Apa yang dipersembahkan oleh para pelajar tersebut tentu tidak pernah lepas dari peran para guru dan pelatih yang membimbing mereka. Adalah totalitas, kesungguhan, serta kegigihan para guru dan pelatihlah yang memungkinkan para pelajar kita meraih hasil yang sangat mengesankan tersebut. Dengan fakta ini sekaligus membuktikan bahwa jika murid memperoleh metode pembelajaran dan pelatihan yang sesuai dengan talenta mereka, maka prestasi gemilang pun menjadi sebuah keniscayaan.

Karena itu, dalam disertasinya DR. Titiek Rohanah Hidayati menyebut bahwa guru merupakan bagian integral dari sumberdaya pendidikan yang sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan. Sebagai salah satu sub komponen dalam pendidikan, khususnya komponen pendidik dan tenaga kependidikan, guru merupakan sebuah kunci dalam melakukan peningkatan mutu pendidikan. Karena itu, posisi mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. (Titiek RH, 2008)

Sementara itu, dalam pandangan Prof. DR. Moh. Fakry Gaffar, M.Ed, mantan Rektor IKIP Bandung, guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Meskipun perkembangan teknologi pembelajaran berkembang demikian pesat, namun dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat multicultural, peranan guru tetaplah dominan. Karena ada dimensi-dimensi proses pendidikan, atau lebih khusus lagi proses pembelajaran, yang diperankan oleh guru yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. (Dedi Supriadi, 1998)

DWI DIMENSI KECAKAPAN GURU

Guru dalam akronim Jawa sering diartikan dengan makna ‘digugu’ (dipercaya) dan ‘ditiru’ (dicontoh). Agar dipercaya para murid, seorang guru harus memiliki kecakapan pengajaran, yakni kecakapan mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada para murid. Sedangkan untuk bisa dicontoh oleh para murid, seorang guru harus memiliki kecakapan pendidikan, yakni kecakapan menuntun para murid agar mereka tumbuh menjadi manusia yang selamat dan bahagia, baik di dunia maupun akhirat.

Sebagaimana dijelaskan Ki Hadjar Dewantara, bahwa pengajaran (onderwijs) itu tidak lain ialah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan, serta kecakapan kepada anak-anak, yang kedua-duanya dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Adapun pendidikan (opvoeding) itu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Moch. Tauhid, dkk., 2004)

Jika dikorelasikan dengan tuntutan kompetensi guru yang diamanatkan oleh Undang-undang Guru dan Dosen, maka pada prinsipnya dua macam kecakapan tersebut selaras dengan tuntutan kompetensi guru sebagaimana tertuang dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Undang-undang ini seorang guru harus memiliki 4 macam kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, professional, kepribadian, dan sosial.

Menurut interpretasi penulis, dua kompetensi pertama berhubungan dengan aktivitas pengajaran, sedangkan dua kompetensi berikutnya berkaitan erat dengan aktivitas pendidikan. Dengan demikian, mewujudkan sosok guru idola pada dasarnya adalah mengembangkan keempat jenis kompetensi tersebut melalui proses yang konsisten dan berkesinambungan.

GURU IDOLA vs GURU POPULIS

Sebelum terlalu jauh mengupas tentang guru idola, perlu kiranya kita sepakati terlebih dahulu bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara guru idola dengan guru populis. Penulis memaknai guru idola sebagai guru yang diterima dengan baik kehadirannya oleh para murid karena kecakapan pengajaran dan pendidikan yang dikuasainya. Sedangkan guru populis adalah guru yang diterima dengan baik oleh para murid lebih karena kemampuannya menyenangkan para murid, apakah karena ia orang yang humoris, akrab dengan para murid, atau karena jarang marah.

Dengan batasan tersebut, bisa dikatakan bahwa guru idola hampir bisa dipastikan merupakan guru yang populis. Tetapi guru populis tidak dengan sendirinya bisa menjadi guru idola. Lalu, adakah kriteria yang bisa kita pakai sebagai referensi untuk mewujudkan sosok guru idola itu ?

Pada pertengahan 90an, Gerstner dkk memberi gambaran tentang perubahan peran guru. Menurut mereka perubahan berpusar pada pola relasi antara guru dan lingkungannya : dengan sesama guru, dengan siswa, dengan orangtua, dengan kepala sekolah, dengan teknologi, dan dengan karirnya sendiri. Dalam hal ini guru akan lebih banyak tampil tidak lagi sebagai ‘pengajar’ (teacher) semata, melainkan akan memainkan peran yang lebih luas lagi. Yakni sebagai pelatih, konselor, manajer belajar, partisipan, pemimpin, dan juga sebagai pelajar.

Sebagai pelatih (coach) misalnya, guru harus mampu mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya, bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan, membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sedangkan sebagai konselor, guru akan menjadi sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. (Dedi Supriadi, 1998)

Dalam makalah ini penulis lebih condong menggunakan kriteria guru idola berdasarkan kepemilikan standar kompetensi yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, yakni :

  1. Memiliki kompetensi Pedagogik yang dinamis. Artinya, dalam menjalani pengelolaan pembelajaran peserta didik, seorang guru harus memiliki keterbukaan dalam hal :

a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;

b. pemahaman terhadap peserta didik;

c. pengembangan kurikulum atau silabus;

d. perancangan pembelajaran;

e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

f. pemanfaatan teknologi pembelajaran;

g. evaluasi hasil belajar; dan

h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya

2. Memiliki kompetensi Profesional yang progresif. Artinya, dalam melaksanakan profesinya seorang guru harus meningkat kemampuannya dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:

a. materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan

b. konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.

3. Memiliki kompetensi Kepribadian yang kian matang. Artinya, dalam melaksanakan tugas kesehariannya, seorang guru harus secara aktif, mandiri, dan berkelanjutan mengembangkan kepribadiannya menuju terwujudnya pribadi yang :

a. beriman dan bertakwa;

b. berakhlak mulia;

c. arif dan bijaksana;

d. demokratis;

e. mantap;

f. berwibawa;

g. stabil;

h. dewasa;

i. jujur;

j. sportif;

k. menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat;

l. secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri;

4. Memiliki kompetensi Sosial yang efektif. Artinya, dalam melaksanakan pergaulan sehari-hari, seorang guru harus terus-menerus mengasah kecakapan sosialnya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, yang ditunjukkan dengan :

a. berkomunikasi lewat lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun;

b. menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;

c. bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik;

d. bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; dan

e. menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.

NEVER ENDING PROCESS

Menilik demikian banyaknya kriteria yang mesti dimiliki oleh sosok guru idola, maka upaya mewujudkannya menjadi sebuah proses yang tiada akhir. Namun yang sering terjadi di lapangan tidaklah demikian. Seorang guru yang telah memperoleh Sertifikat Pendidik, pelan tapi pasti berkurang hasrat dan semangatnya untuk tetap mengembangkan kompetensinya. Seorang guru yang hampir memasuki masa pensiun juga memiliki sikap dan perilaku yang sama. Ia tidak lagi sesemangat tahun-tahun sebelumnya.

Karena itulah mewujudkan sosok guru idola melibatkan beberapa faktor dalam diri seorang guru yang harus diupayakan secara konsisten dan berkelanjutan.

Pertama, faktor motivasi yang dipicu oleh visi. Bagi seorang guru yang berkeinginan keras menjadi guru idola, maka motivasi internal yang mendorongnya untuk merealisasikannya bakal terus terpelihara dengan baik. Ia sadar bahwa jalan yang bakal dilaluinya tidak selamanya mulus, namun dorongan keyakinan yang datang dari dalam dirinyalah yang akan membuatnya tetap bersemangat, sekalipun ia telah memasuki masa pensiun. Karena sesungguhnya profesi guru akan tetap melekat pada diri seseorang sampai akhir hayatnya.

Kedua, faktor cara berpikir yang terbuka. Bagi seorang guru yang pikirannya selalu terbuka, apa pun yang dilihatnya dalam kehidupan ini selalu menjadi serba mungkin dan selalu ada yang baru. Ia percaya bahwa apa yang diketahuinya jauh lebih sedikit daripada apa yang tidak diketahuinya. Karena itu, ia akan senantiasa menyambut baik hal-hal yang bersifat kreatif dan inovatif. Ia tidak akan berpikir dogmatis terhadap apa-apa yang telah diketahuinya.

Dan ketiga, faktor tindakan yang secara riil dijalani. Bagi guru yang ‘talk less do more’, eksperimen merupakan hal yang menggairahkan. Ia tahu bahwa tidak pernah ada jaminan keberhasilan bagi setiap eksperimen, namun ia merasa selalu mendapatkan pelajaran berharga dari setiap eksperimen yang dijalaninya. Sehingga yang selalu jadi pegangan bagi dirinya dari setiap eksperimen yang dilakoninya adalah : berhasil atau belajar. Baginya tidak pernah ada yang gagal atau sia-sia.

Jika Prof. Yohanes Surya sangat diidolakan oleh para pelajar yang menggemari ilmu Fisika, Anda juga bisa jadi idola murid-murid Anda. Tentu saja jika Anda sanggup memelihara motivasi positif, cara berpikir yang terbuka, dan yang paling penting jika Anda bersedia berbuat.

Yogyakarta, 13 Agustus 2009

*) Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Kompetensi Guru di Tanjung Kalimantan Selatan, 16 Agustus 2009.

Referensi :

  1. Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 1998.
  2. Depdiknas, Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru, Jakarta, 2008
  3. Moch. Tauhid, dkk, Karya Ki Hadjar Dewantara – Bagian Pertama, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, 2004
  4. Titiek Rohanah Hidayati, Guru : Mendidik, Mengajar, dan Tanggungjawab Profesi, Setara Press, Malang 2008

Daftar Isi